Senin, 16 Desember 2013

Kamis, 22 Maret 2012

inspirasi

http://www.djarum-super.com/adventure/adventure-journal/contestant-journal/detail/read/ketika-mahameru-di-bawah-kakimu-2/


Ketika Mahameru Di Bawah Kakimu...

13/12/2011
Sebuah perjalanan ke puncak para Dewa Mendaki melintas bukit
Berjalan letih menahan menahan berat beban
Bertahan didalam dingin
Berselimut kabut `Ranu Kumbolo`

Menatap jalan setapak
Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat coklat susu
Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Mahameru berikan damainya
Didalam beku `Arcapada`
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa

Masihkah terbersit asa
Anak cucuku mencumbui pasirnya
Disana nyalimu teruji
Oleh ganas cengkraman hutan rimba
Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Mahameru berikan damainya
Didalam beku `Arcapada`
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa

Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Mahameru berikan damainya
Didalam beku `Arcapada`
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa

Mahameru berikan damainya
Didalam beku `Arcapada`
Mahameru sampaikan sejuk embun hati
Mahameru basahi jiwaku yang kering
Mahameru sadarkan angkuhnya manusia
Puncak abadi para dewa
Aku mendengarkan lagi lagu itu. Untuk kesekian kalinya. Tak pernah menjadi hal yang membosankan. Dalam hati kubilang, tak ada yang berbeda. Persis sama. Kalo yang suka denger radio Swaragama, pasti tahu yang namanya “soundtrack of your life”, nah itu yang kumaksud.  Mungkin “ Dewa 19” waktu itu menciptakan lagu setelah naik ke Semeru dan berada di puncaknya, Mahameru. Karena apa yang dikatakan persis sama dengan apa yang kami alami di sana, di Semeru.
Dari lagu itu pula perjalanan ini terinspirasi. Lagu yang melangkahkan kaki-kaki kami ke Puncak Para Dewa.
                                                              ***
Sebuah Perjalanan Impian
Hari ini adalah ‘D day’. Kami berangkat ke Kediri dengan kereta Kahuripan. Aku tahu beberapa diantara kami telah memimpikan perjalanan ini selama bertahun lamanya. Tim siap pukul 06.00 WIB di stasiun Lempuyangan dan kami berangkat. Sampai di Kediri kami naik Rapih Doho jurusan Malang. Kemudian disambung dengan angkot menuju Tumpang. Di sana kami sudah disambut salam hangat dari Pak Ruseno, seorang pemilik truk yang biasa mengantar para pendaki menuju desa Ranu Pane, basecamp pendakian Gunung Semeru.
                         
                                       Menunggu Rapih Doho (Kediri- Malang)
                                                                ***
Orang-Orang Aneh
Pagi cerah. Semalam kami memutuskan untuk tidak langsung ke Ranupane karena terlampau lelah dengan perjalanan panjang Jogja- Malang. Pun Pak Ruseno menawari kami untuk beristirahat di rumahnya. Rumah kecil yang luar biasa ramah, itu yang aku ingat sampai sekarang. Oh ya, terlupa untuk absen. Kesebelasan ini sebenarnya berawal dari teman SMA, teman dolan, teman kantor, dan teman-temin lainnya. Punya kebiasaan aneh, lebih senang bersusah dalam dingin dan menjelajah alam daripada menikmati empuk kasur dan hangatnya selimut di rumah. Dan taraaaaaaaaa... mereka adalah Angga Kencuk, Annas Jampes, Reza Pacul, Febrian Cabul, I Gung Komeng, Masroel Ndoro, Liston, Yuda, Iqbal, Rully, dan Penulis (Fita).
Briefing sejenak sebelum menuju Ranupane. Pukul 07.00 WIB tim berangkat menuju basecamp pendakian Gunung Semeru. Diperjalanan sungguh tak bisa terpejam. Bagaimana bisa jika alam sedang memperlihatkan keindahannya yang luar biasa. Kompleks Bromo tak henti melambai menyambut kedatangan kami. Tak henti kami ber-WOW. Sungguh hanya itu yang bisa kami lakukan ketika itu. Pak Ruseno menawarkan untuk berhenti dan mengambil gambar. Tidak kami sia-siakan kesempatan itu. Sebentar saja di bibir savana Bromo, kemudian kami meneruskan perjalanan.
                               Secuil keindahan kompleks Bromo Tengger Semeru
                                       Di tengah perjalanan menuju Ranupane
Perjalanan 2 jam dan kami telah sampai di Ranu Pane. Lagi-lagi Cuma WOW liat pemandangan. Sarapan dulu, ngurus perijinan dan kami akan segera berangkat naik. Perijinan lumayan ribet, maklum Taman Nasinal biasanya memang mempunyai disiplin berbeda. Seperti contohnya Taman Nasional Gede-Pangrango yang kami kunjungi setahun lalu, para pendaki harus booking tempat minimal 4 hari sebelum pendakian atau kemudian peraturan lain seperti pembatasan membawa peralatan tajam (pisau), pelarangan membuat api unggun, dll. Sejauh ini sih memang peraturan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kelestarian ekosistem. Perijinan selesai, check list kelengkapan sebelum memulai pendakian. Kebetulan berbarengan dengan kami ada beberapa pendaki domestik dan mancanegara yang akan naik, kami memutuskan untuk sedikit mengambil jarak agar tidak terlalu antre di jalur. Ada juga tim “Jejak Petualang” yang sedang syuting di sana. Kami ikut di syuting dong, lumayan lah (Fita masuk tipi mak).
                                                   Basecamp Ranupane
                                                 Tim Di Depan Basecamp
Setelah jepret-jepret kami berangkat mendaki. Terminal pertama kami adalah Ranu Kumbolo, sebuah danau yang berada di ketinggian 2400 mdpl. Di sanalah kami akan menginap semalam. Jalan dari Ranupane menuju Ranu Kumbolo tidak begitu menanjak. Datar malah. Jarak yang di tempuh adalah sekitar 10 km atau sekitar 4 jam, tapi lumayan juga dengan tas yang masih full. Perjalanan yang menyenangkan.
                                                      Istirahat dulu Cing!
                          Penampakan Kubah Mahameru (Ranupane- Ranu Kumbolo)
Perjalanan yang awalnya diperkirakan selama empat jam ternyata tidak sesuai kenyataan. Ya gimana mau 4 jam, tiap berhenti mana yang rokok dulu, mana yang satu lagu dulu, mana yang merem 5 menit dulu, mana yang makan dulu, mana curhat dulu dan mana-mana lain yang tentu bikin lama. Then finally kami sampai di Ranu Kumbolo pukul 16.30 WIB.
                                             view Ranu Kumbolo from pos 4 
Danau 14 Ha berparas menawan menyambut kami dengan pagar bukit yang bersatu di tengah membentuk letter V. Kata orang, pada sudut itulah berkas-berkassunrise akan menyergap esok hari.
                                                   Senja di Ranu Kumbolo
Bangun dome, masak-masak, makan-makan, ngobrol-ngobrol dan tertidurlah kami dalam balutan sleeping bag yang terasa begitu syurga waktu itu. Ada menu spesial kali ini “ayam bakar madu Ranu Kumbolo ala Chef Fita” (di ucapkan ala Farah Queen).
Tidur dan mimpi indah, kecuali aku. Yang bolak- balik kebangun gara-gara Jampes kentutnya gila. Sumfah itu keras banget sodara-sodara. Humps....
                                                                ***
Meretas Jalan Menuju Kalimati
Keributan membangunkanku. Sunriseeeeeeeeeee...kamera kamera kamera... Semua terbangun dengan muka seakan-akan tak percaya. Kami setinggi arah datangnya matahari. Sepanjang tepian Ranu Kumbolo dipenuhi dengan dome para pendaki lain. Kayak pasar rupanya semalam, tapi kami terlalu lelah menyadarinya.
                                                   Sunrise Ranu Kumbolo
                                                        Ranu Kumbolo
Kembali beraktivitas yang di dahului dengan jeprat-jepret sunrise. Masak-masak, makan-makan, packing dome dan kembali briefing untuk meneruskan perjalanan ke Pos peristirahatan selanjutnya yaitu Kalimati. Kalimati adalah pos peristirahatan kami sebelum summit attack ke puncak Semeru.
Pukul 11.00 WIB kami berangkat. Perjalan menuju Kalimati memakan waktu sekitar 4 jam. Awal perjalanan kami langsung dijejali dengan ‘tanjakan cinta’, tanjakan dengan jarak sekitar 50 meter namun mempunyai kemiringan sekitar 45 derajat. Kebayang dong ya..hehehehe.
Ada sebuah cerita berkaitan sama tu tanjakan, katanya seorang pendaki yang bisa melewatinya tanpa berhenti dan menengok sampai akhir sambil memikirkan orang yang dicintainya maka cintanya itu akan abadi. Ceileh...
Jelas dong, para lelaki tim kami pada niat banget sama tu nadzar. Kira-kira ada yang mikirin saya gak ya *ngarep. Beberapa langkah masih oke, beberapa langkah lagi oke dengan hosh..hosh... dan akhirnya saya berhenti. Ya ampun gak keukeuh buat nengok sama gak kuat kalo tanpa berhenti. Pesona Ranu Kumbolo yang membentang di belakang mustahil dilewatkan.
                                                        Tanjakan Cinta
Tanjakan berakhir saat kami mampu menatap Oro-oro Ombo, sabana yang dihiasi bukit-bukit teletubies (itu sebutan kami). Jalan datar membelah Oro-oro ombo mengantar kami sampai di Cemoro Kandang.  Kami beristirahat sejenak di sana, bertemu dengan beberapa pendaki yang sudah sampai duluan. Meneruskan perjalanan, track lebih menanjak dari sebelumnya akhirnya kami sampai Jambangan, pos sebelum Kalimati. Dari sana sudah terlihat kubah Mahameru. Senang bukan main, kami begitu dekat dengan mimpi.
                                     Setelah Tanjakan Cinta, Oro-Oro Ombo
                                                        Oro-oro Ombo
Kira-kira pukul 15.30 WIB kami sampai di Kalimati. Kalimati merupakan sabana luas yang berada di ketinggian 2900mdpl. Sudah ada beberapa pendaki lain yang mendirikan dome di sana.
Dome selesai berdiri, kami mulai menyiapkan makan. Suara angin menderu seperti jet, memberi tahu kami betapa suhu di sana.” Sudah pasti akan lebih dingin dari Ranu Kumbolo kemaren”,  batinku. Yang lebih membuatku nervous adalah kubah pasir yang luar biasa besar. Ada sedikit rasa ragu, mampukah sampai ke atas sana? Duduk diam membuat kami lebih kedingingan. Pukul 16.00 WIB bukan waktu yang tepat untuk berada di luar tenda.  Setelah makan, ada diskusi kecil untuk persiapan summit attack nanti malam.
                                                         Jambangan
                                                     View from Kalimati
“Malam ini kita istirahat dan bangun pukul 23.00 WIB. Kita akan berangkat muncak”, kata Angga.
Benar saja malam ini tidak ada suara obrolan, rupanya tidur jadi pilihan terbaik untuk menghemat energi perjalanan ke puncak.
                                                                ***
Perjuangan Terberat
Tepat pukul 23.00 WIB kami bangun dan menyiapkan logistik untuk perjalanan menuju Mahameru. Kami berkumpul untuk pengecekan terakhir. Berdoa dan berangkat. Di depan kami tim Jejak Petualang sudah memulai perjalanan mereka.
Setelah 2 jam berjalan, sampailah kami di Arcopodo (3100 mdpl). Shelter terakhir sebelum puncak. Ada papan peringatan yang membuatku kembali bergidik. Intinya memperingatkan pendaki untuk melakukan persiapan sebaik mungkin baik fisik maupun mental, jika merasa tidak kuat sebaiknya urungkan niat untuk meneruskan perjalanan. Beberapa Memoriam para pendaki yang hilang menghiasi sekitaran Arcopodo.
Sekitar 15 Menit dari Arcopodo, kami bertemu batas vegetasi, setelahnya yang kami temui hanyalah pasir dan batuan.
                                                      Batas Vegetasi
Tiba-tiba kepalaku pening, rasanya mual dan sedikit sesak. Aku berhenti.
“AMS”, kata Angga.
AMS atau Altitude Mountain Sickness biasa terjadi pada pendaki. Hal ini terjadi karena supply oksigen ke otak berkurang karena tipisnya oksigen di ketinggian. Jika parah akan menimbulkan pendarahan di otak dan meninggal. Sebenarnya bisa ditanggulangi dengan sebelumnya melakukan aklimatisasi (adaptasi) di tempat tinggi lebih lama atau segera membawa pendaki turun.
Teman-teman memintaku untuk berhenti dan mendapat obat asma dari Cabul. Sementara mereka meneruskan perjalanan dan aku akan menyusul kemudian bersama Angga. Setelah beberapa menit, aku merasa baikan dan meneruskan perjalanan.
Terus terang, ini adalah perjalanan tersulit setidaknya sejauh aku melakukan pendakian selama 3 tahun ini. Tanjakan 5-3 membuatku seakan tidak berdaya. Ya, 5 langkah naik 3 langkah merosot. Terjatuh dan terpeleset agaknya sudah tak terhitung banyaknya. Sering aku meyakinkan kembali diriku untuk tetap bertahan.
 “ Mimpimu, di depan sana. Sedikit lagi dan kau akan sampai. Maka bertahanlah. Aku tau kau mampu. Sangat mampu malah”, kata Angga meyakinkanku.
Pada sepertiga perjalanan air kami habis. Di belakang tersisa  aku, Angga, Liston dan Iqbal. Sisanya sudah ada yang berada di puncak, ada pula yang hampir sampai. Matahari menyapa kami. Memberi kabar tentang cerahnya hari.
                                                        Ketika fajar menyapa 
“ Duluan saja Cik, Jika kami mampu kami menyusul”, kataku ke Angga.
Ragu
Aku tidak bercanda. Aku tidak mungkin menahannya untuk tetap bersamaku sedang aku tahu bahwa perjalanan ini sudah menjadi keinginannya sejak lama. Dan puncak sudah di depan mata. Bagaimana jadinya jika dia gagal muncak gara-gara aku. Meskipun selama ini selalu meyakinkan ego kami bahwa puncak hanyalah bonus. Hal yang paling berharga adalah caranya menuju kesana, proses.
“Oke, aku akan cari air di atas. Aku tunggu di sana”
Bertiga bersama Iqbal dan Liston. Aku meneruskan perjalanan beberapa menit setelahnya. Sedikit demi sedikit kami mengayunkan langkah. Sampai akhirnya.
“Fit, kamu meh muncak. Aku dah gak kuat. Ini kameranya kamu bawa wae!” Liston mengeluh.
“ Gak, semuanya muncak. Sedikit meneh ton. Pasti bisa. “ kataku
Ditengah obrolan kami, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil dari atas.
“Hei, kalian mau minum?” tim Jejak Petualang sepertinya tahu keadaan kami.
Tanpa babibu, semua langsung bergegas. Tegukan syurga. Hehehehe
Teman-teman kami sudah menunggu di atas. Teriakan mereka membuat keping-keping semangat kami kembali.
Kembali terngiang di benakku sepotong lagu “Mahameru”. “ Mahameru sebuah legenda tersisa, Puncak abadi para dewa”. Ada sesuatu yang seakan turun dari tenggorokan, berdesir. Di Mahameru kami akan mengerti semua.
                               Tiang Pancang yang di pasang Tim Jejak Petualang
Akhirnya pukul 08.30, kami sudah menjelang Mahameru. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semua rasa, gembira, haru, bangga, entahlah. Semua bercampur menjadi satu. Semua teman menyambut kami. Tangis kembali berderai. Boleh percaya atau tidak, tidak ada dari teman-teman yang sudah duluan menginjakkan kaki di puncak. Mereka ternyata hanya duduk di bibir puncak, menunggu kami untuk bersama-sama menginjakkan kaki di Mahameru. Terharu jika mengingatnya.
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan dan kebebasan
Yang mencintai bumi
Mereka yang mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tengadah dan berkata, kesanalah Soe Hoe Gie dan Idhan Lubis Pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang
Sementara bunga-bunga negari ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara Desember menebar gerimis

Ada haru mendalam membaca tulisan yang di pahat untuk mengenang kepergian Gie, namun itulah yang menambah keyakinan kami bahwa kami telah benar-benar sampai.
Mahameru berada di ketinggian 3676 mdpl. Puncak tertinggi  Pulau Jawa. Dan kami telah sampai di sana. Dengan mimpi yang kami bangun bersama. Terimakasih yang takkan terhingga untuk semua hal yang telah terbagi bersama. Kesempatan, ilmu, semangat, kopi panas dan pelukan hangat para sahabat. Terimakasih telah percaya bahwa aku mampu melewatinya. Sampai jumpa di perjalanan menuju atap- atap pulau, negeri di atas awan.
                                 Puncak Mahameru, Bersama tim Jejak Petualang
                                                   Mahameru 3676mdpl
                                                         Bibir Puncak
                                                        Negeri atas awan
“Mimpi itu dekat adanya bukan? Satu hal, lakukan!” Lagu nampaknya menjadi bukan sekedar sesuatu yang dinyanyikan, tapi membawa mimpi datang. Karena lagu menuntun langkah...
                                                  Sesaat sebelum pulang
                                                      Perjalanan pulang